Minggu, 29 April 2012
MATERI 1
SEKITAR NKRI
“ STABILITAS EKONOMI NASIONAL”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia memiliki ekonomi berbasis-pasar di mana pemerintah memainkan peranan penting. Pemerintah memiliki lebih dari 164 BUMN dan menetapkan harga beberapa barang pokok, termasuk bahan bakar, beras, dan listrik. Setelah krisis finansial Asia yang dimulai pada pertengahan 1997, pemerintah menjaga banyak porsi dari aset sektor swasta melalui pengambilalihan pinjaman bank tak berjalan dan asset perusahaan melalui proses penstrukturan hutang.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan
Pada masa awal kemerdekaan,keaadaan ekonomi bangsa Indonesia sangat buruk,dikarenakan oleh:
Inflasi yang sangat tinggi
Disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada saat itu diperkirakan mata uang Jepang yang beredar di masyarakat sebesar 4 milyar. Dari jumlah tersebut, yang beredar di Jawa saja, diperkirakan sebesar 1,6 milyar. Jumlah itu kemudian bertambah ketika pasukan Sekutu berhasil menduduki beberapa kota besar di Indonesia dan menguasai bank-bank.
Dari bank-bank itu Sekutu mengedarkan uang cadangan sebesar 2,3 milyar untuk keperluan operasi mereka. Kelompok masyarakat yang paling menderita akibat inflasi ini adalah petani. Hal itu disebabkan pada zaman pendudukan Jepang petani adalah produsen yang paling banyak menyimpan mata-uang Jepang. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Pada saat kesulitan ekonomi menghimpit bangsa Indonesia, tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI yang baru, Letnan Jenderal Sir Montagu Stopford mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang diduduki Sekutu. Uang NICA ini dimaksudkan sebagai pengganti uang Jepang yang nilainya sudah sangat turun. Pemerintah melalui Perdana Menteri Syahrir memproses tindakan tersebut. Karena hal itu berarti pihak Sekutu telah melanggar persetujuan yang telah disepakati, yakni selama belum ada penyelesaian politik mengenai status Indonesia, tidak akan ada mata uang baru.
Oleh karena itulah pada bulan Oktober 1946 Pemerintah RI, juga melakukan hal yang sama yaitu mengeluarkan uang kertas baru yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai pengganti uang Jepang. Untuk melaksanakan koordinasi dalam pengurusan bidang ekonomi dan keuangan, pemerintah membentuk Bank Negara Indonesia pada tanggal 1 November 1946. Bank Negara ini semula adalah Yayasan Pusat Bank yang didirikan pada bulan Juli 1946 dan dipimpin oleh Margono Djojohadikusumo. Bank negara ini bertugas mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing.
Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI.
Blokade laut ini dimulai pada bulan November 1945 ini, menutup pintu keluar-masuk perdagangan RI. Adapun alasan pemerintah Belanda melakukan blokade ini adalah:
1. Untuk mencegah dimasukkannya senjata dan peralatan militer ke Indonesia;
2. Mencegah dikeluarkannya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik asing lainnya;
3. Melindungi bangsa Indonesia dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang bukan Indonesia.
Kas negara kosong.
Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Tanah pertanian rusak
1. Tenaga kerja dijadikan romusha
2. Tanah pertanian ditanami tanaman keras
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India seberat 500000 ton, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
Konferensi ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 yaitu mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
Pada tanggal 19 Januari 1947 dibentuk Planing Board (badan perancang ekonomi yang bertugas untuk membuat rencana pembangunan ekonomi jangka waktu 2 sampai tiga tahun). Kemudian IJ Kasimo sebagai menteri Persediaan Makanan Rakyat menghasilkan rencana produksi lima tahun yang dikenal dengan nama Kasimo Plan, yang isinya
1. Memperbanyak kebun bibit dan padi unggul
2. Pencegahan penyembelihan hewan pertanian
3. Penanaman kembali tanah kosong
4. Pemindahan penduduk (transmigrasi) 20 juta jiwa dari Jawa ke Sumatera dalam jangka waktu 1-15 tahun.
Demokrasi Terpimpin,
Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan tantangan yang menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi adalah sebagai berikut.
Gunting Syafruddin
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya. Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950. Tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp. 200 juta.
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Sumitro Djojohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya adalah:
Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.
Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :
Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.
Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Dampaknya adalah program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
Nasionalisasi De Javasche Bank
Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai pemberian kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter. Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara drastis. Perubahan mengenai nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada tanggal15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 1951.
Sistem Ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (menteri perekonomian kabinet Ali I). Tujuan dari program ini adalah:
Untuk memajukan pengusaha pribumi.
Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi khususnya Cina. Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:
Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas.
Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap dikirim delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gde Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek, yang berisi:
Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Tujuannya untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB. Dampaknya adalah banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.
Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :
Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
Musyawarah Nasional Pembangunan
Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena:
Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.
Terjadi ketegangan politik yang tak dapat diredakan.
Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.
Hal ini membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/ Permesta sehingga meningkatkan defisit Indonesia. Memuncaknya ketegangan politik Indonesia- Belanda menyangkut masalah Irian Barat mencapai konfrontasi bersenjata.
Orde Baru
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.
Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998.
Pasca Suharto
Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.
Pada 2010 Ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh pesat. PDB bisa dipastikan melebihin Rp 6300 Trilyun meningkat lebih dari 100 kali lipat dibanding PDB tahun 1980. Setelah India dan China, Indonesia adalah negara dengan ekonomi yang tumbuh paling cepat diantara 20 negara anggota Industri ekonomi terbesar didunia G20.
Ini adalah tabel PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia dari tahun ke tahun oleh IMF dalam juta rupiah.
Tahun PDB
1980 60,143.191
1985 112,969.792
1990 233,013.290
1995 502,249.558
2000 1,389,769.700
2005 2,678,664.096
2010 6,422,918.230
Kajian Pengeluaran Publik
Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.
Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 miliar telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 miliar ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun 1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.
Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 miliar dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran total.
Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.
Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di Indonesia kedepannya.
Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun 2001 - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawah 1.0 persen dari PDB Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen dari PDB Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar 15 persen pada tahun 2006 menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.
2.2 Era Bank-bank Bangkrut
INDUSTRI perbankan selama tahun 1998 begitu hiruk-pikuk. Antrean panjang nasabah menyambut industri perbankan awal tahun 1998. Mereka benar-benar telah menempatkan kepercayaan pada bank di bawah telapak kaki. Tindakan likuidasi tanpa memperhitungkan kepanikan nasabah, menjadi awal dari semua prahara perbankan itu.
Untung ada jaminan atas simpanan nasabah, yang dikeluarkan pemerintah awal tahun 1998 juga. Kesulitan perbankan di satu sisi bisa tertolong karena tidak lagi harus dicecer nasabah panik. Namun demikian, jaminan itu tak kunjung bisa mengakhiri krisis perbankan yang sudah berkembang menjadi kronis.
Selain warisan dari penyakit masa lalu, ada beberapa karakter yang membantai industri perbankan selama tahun 1998. Pertama adalah warisan dari kepanikan nasabah yang mengakibatkan sumber pendanaan kosong melompong. Bank Indonesia memang menyuntikkan likuiditas berupa BLBI. Akan tetapi pengenaan suku bunga BLBI, telah pula menjadikan pemilik menghadapi beban yang terus bertambah.
Ada lagi faktor lain yang mewarnai, yakni suku bunga kredit yang lebih tinggi ketimbang suku bunga simpanan nasabah. Akibatnya terjadi negative spread. Beban bankir semakin bertambah saja. Bisa dikatakan, bank-bank kita sudah tinggal gedung-gedung saja tanpa isi.
Resesi ekonomi telah mencampakkan semua kredit yang disalurkan menjadi sampah. Idealnya, pemilik bank sendiri harus menyuntikkan modal untuk memberi roh pada perbankan. Akan tetapi itu tidak dapat dilakukan. Pemilik bank juga bangkrut, karena kredit yang disalurkan ke kelompok sendiri, terjerat kredit macet.
Tambahan pula, sebagian kredit itu telah menguap dan sebagian besar menjadi simpanan pemilik bank yang ada di sistem perbankan internasional. Kekhawatiran akan bisnis yang tidak nyaman di Indonesia, telah membuat mereka lari tunggang langgang.
Akibatnya, BI harus menanggung semua beban yang ada di perbankan. Secara de facto, pemilik saham mayoritas perbankan nasional adalah pemerintah melalui Bank Indonesia. Bahkan sebagian besar saham-saham bank swasta telah dicengkeram oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Akan tetapi pengambilalihan Bank Indonesia atas saham-saham perbankan nasional, juga tak menyelesaikan masalah. Idealnya, sebagaimana di berbagai negara, pemerintah menjadi penolong mayoritas kesulitan perbankan.
Namun pemerintah pun kini bagai tunggang langgang, tiba-tiba dihadapkan pada beban dashyat akibat borok-borok industri perbankan. Borok-borok itu, sangat jelas terlihat pada peringkat perbankan yang mayoritas berkategori B (modal sudah menjadi negatif 25 persen terhadap aset) dan C (modal sudah negatif di bawah 25 persen) terhadap aset.
Pemerintah memang merencanakan rekapitalisasi dengan penerbitan obligasi. Diperkirakan akan ada Rp 257 trilyun untuk menyuntikkan modal perbankan. Akan tetapi angka itu dianggap terlalu moderat, jauh dari memadai. Kredit bermasalah bank sendiri pun mencapai kurang lebih Rp 300 trilyun. Meski demikian, angka Rp 257 trilyun itu juga bukan hal mudah untuk dipenuhi.
**
SEBELUM rencana rekapitalisasi, ada sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menyehatkan perbankan. Ironisnya, kebijakan yang dikeluarkan pun-untuk menyehatkan perbankan-seperti anak-anak bermain tali. Tarik ulur hampir selalu mewarnai kebijakan pemerintah atas perbankan.
Kebijakan di bidang keuangan dan perbankan seringkali direvisi. Ambil contoh, pola pengembalian dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berubah-ubah. Sebelumnya pemerintah menentukan batas waktu pengembalian BLBI selama lima tahun, kemudian diubah lagi menjadi satu tahun.
Sampai akhirnya setelah melalui bebagai perdebatan, pemerintah menetapkan batas waktu empat tahun bagi pemilik lama saham mayoritas bank beku operasi (BBO) dan bank take over (BTO) untuk menyelesaikan kewajibannya. Bagaimana pun, kebijakan pemerintah yang plintat-plintut bisa membingungkan pelaku pasar dan mengurangi kepercayaan masyarakat pada dunia perbankan.
Maka itu, jangan heran jika masyarakat terus bingung. Sebenarnya kebingungan dan kepanikan dalam masyarakat secara tidak langsung diciptakan sendiri oleh pemerintah melalui kebijakan yang tidak utuh. Setelah kebijakan pengembalian BLBI sudah agak terang dan jelas, sekarang muncul program rekapitalisasi (penambahan modal) perbankan yang merupakan bagian dari kebijakan restrukturisasi perbankan nasional.
Kebijakan yang hendak dilaksanakan itu pun, belum memperjelas arah kebijakan pemerintah yang hendak ditempuh dalam dunia perbankan. Dengan rekapitalisasi perbankan pemerintah berobsesi menciptakan perbankan yang sehat dan kuat serta mampu bertarung di pasar global.
***
DI tengah kebingungan itu, kita bertanya. Bagaimana menyehatkan perbankan. Hingga kini semua itu masih menjadi tanya besar? Maka itu, tahun 1999, industri perbankan belum bisa diharapkan beroperasi seperti sediakala. Mereka belum cukup mampu mengucurkan kredit.
Kalaupun ada yang bisa beroperasi normal, itu hanyalah bank-bank asing atau campuran, atau bank-bank swasta yang selama ini cukup berhati-hati menyalurkan dananya. Akan tetapi jumlah bank yang bisa bertindak seperti hanya dalam bilangan jari tangan.
Lalu bagaimana prospektif perbankan nasional? Hingga saat ini tak ada yang bisa memberikan jawaban tuntas. Berbagai kalangan, domestik maupun dunia internasional di berbagai seminar, juga sangat kebingungan melihat endemik penyakit perbankan. Tahun 1999, akan masih terus dilanjutkan dengan sejumlah pertanyaan bagaimana menyelesaikan perbankan.
Namun yang jelas, likuidasi adalah suatu yang tak terhindarkan. Itu merupakan bagian dari reformasi perbankan, yang bisa dikatakan, juga masih merupakan langkah sumir. Maka itu, mengamati industri perbankan sepanjang tahun 1999 adalah sesuatu yang mereka nantikan.
Sebenarnya ada hal paling urgen yang kelihatannya tak punya korelasi, tetapi untuk menyehatkan industri perbankan, hal itu mutlak diperlukan. Sebagaimana diketahui, dalam dunia yang sudah terintegrasi ini, peran aliran modal sudah menjadi penyangga perekonomian, dan sekaligus juga perbankan satu negara.
Aliran modal itu, termasuk yang dalam kategori investasi portofolio-berbentuk saham obligasi atau produk di pasar uang lainnya. Aliran modal lainnya, adalah yang juga disebut sebagai foreign direct investment (aliran investasi asing langsung).
Untuk kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, hal itu sudah terjadi. Namun keunikan Indonesia, tidak bisa segera membalikkan arus modal keluar menjadi arus modal masuk. Korea Selatan dan Thailand, adalah negara yang paling jitu dan lihai, serta menyadari pentingnya kembali arus modal masuk itu.
Untuk Indonesia, meski dipandang menarik, tetapi kerusuhan berdarah telah membuat investor ngeri untuk masuk ke Indonesia. Jangankan untuk berbinis, untuk berkunjung pun mereka sudah enggan. Karena itu, ketenangan politik, adalah hal mutlak yang harus didengarkan otoritas.
LAPORAN AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI
Rupiah dan Saham, Meliuk-liuk Bagai Ular ,RUPIAH pun tak mau ketinggalan telah menorehkan tinta merah dalam sejarah perekonomian. Bursa saham pun demikian halnya, bergejolak dan jika digambar terlihat seperti ular yang meliuk-liuk. Masih ingat ketika kurs rupiah hampir menembus Rp 17.000 per dollar AS pada 17 Juni 1998?Begitu Soeharto menyatakan diri mundur sebagai Presiden ke-2 RI tanggal 21 Mei 1998-yang diinginkan pasar dan diperkirakan bisa meredakan gelombang-tak juga menolong rupiah. Rupiah masih sekitar Rp 11.000 per dollar AS. Kecenderungan pelemahan rupiah pasar, terus menjadi-jadi sejak aksi penembakan mahasiswa Trisakti tanggal 12 Mei dan aksi penjarahan 14 Mei di Jakarta.
Hal itu diikuti gelombang kerusuhan dan aksi politik yang sepertinya tidak habis-habisnya setelah mundurnya Soeharto. Pukulan bertubi-tubi atas rupiah mencapai gongnya, setelah mata uang yen Jepang mengalami depresiasi tajam 12 Juni 1998. Kurs rupiah selanjutnya terjun bebas mencapai Rp 17.000, tingkat paling rendah selama sejarahnya.Kondisi ekonomi yang mengalami kontraksi hingga minus 13 persen, inflasi yang tinggi, suku bunga bank yang melambung memberikan dampak buruk bagi perusahaan-perusahaan termasuk yang sudah terdaftar di bursa. mengakhiri krisis perbankan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) bulan September lalu akhirnya mencapai titik terendah 254 poin.
Menjelang tutup tahun 1998, indeks saham sedikit menapak naik melampaui tingkat 400 poin. Tingkat suku bunga yang mulai menurun akibat inflasi yang mulai terkendali dan aksi spekulasi pada valuta asing yang mulai mereda ikut membantu. Hal serupa juga dialami rupiah yang cenderung membaik sejak September lalu dan kini terus bertengger pada level Rp 7.000 sampai Rp 8.000.MENGIKUTI perjalanan kurs rupiah dan indeks saham selama tahun 1998 ibarat naik turun gunung dengan lembah dan ngarai yang terjal. "Batas rupiah adalah langit," ujar pengamat ekonomi Hartojo Wignjowijoto ketika kurs rupiah terus melemah mendekati Rp 17.000 bulan Juni lalu.Pasar memang tidak bisa kompromi dengan perkembangan politik. Kondisi negatif ini semakin diperparah dengan perkembangan global seperti jatuhnya kurs yen.
Kurs rupiah setahun yang lalu masih bergerak antara Rp 4.000 - Rp 5.000 per dollar AS. Tidak terlalu "buruk" apabila dikaitkan dengan keadaan saat ini yang bergerak antara Rp 7.000 - Rp 8.000. Akan tetapi kondisi ekonomi dalam negeri ternyata tidak bisa lagi diharapkan untuk mendukung rupiah agar tetap stabil sejak Bank Indonesia (BI) melepaskan rentang intervensi 14 Agustus 1997 dan menutup 16 bank swasta bulan November.Manuver-manuver politik semakin memperburuk kepercayaan pasar atas perekonomian Indonesia. Kehadiran calon wakil presiden BJ Habibie pada waktu itu, membuat pasar berkeyakinan bahwa Indonesia masih akan tetap dengan ekonomi biaya tinggi. Sikap pemerintah yang juga tarik ulur dalam mencapai kesepakatan program bantuan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) semakin mempersulit keadaan.
Hal serupa juga terlihat pada harga-harga saham di BEJ. Setelah sempat melambung melampaui 700 poin pada bulan Juni 1997, indeks saham terus terjun bebas hampir mendekati 300 poin pada bulan Desember dan Januari 1998. Beruntung, penandatangananletter of intent pemerintah dengan IMF tanggal 15 Januari membuat pasar valas dan saham bereaksi positif pada membaiknya perekonomian.Kurs rupiah segera kembali menguat hingga di bawah Rp 10.000. Bahkan sempat berada di bawah Rp 8.000 per dollar AS pada bulan Februari. Intervensi BI di pasar valas ikut membantu. Revisi atas RAPBN 1998/ 1999, suatu tindakan revisi pertama yang dilakukan pemerintahan selama ini, juga menunjukkan sikap serius pemerintahan menghadapi krisis.Di bursa saham, harga-harga saham juga kembali melonjak. Indeks terus naik melampaui 500 poin pada Februari 1998. Menurut pengamat pasar modal Jasso Winarto saat itu, para investor asing mulai mengincar saham-saham unggulan Indonesia yang ketika itu sudah sangat murah. Kesepakatan dengan IMF juga memberikan sentimen positif krisis ekonomi Indonesia akan segera membaik
SEBAGAIMANA dikatakan banyak pengamat, krisis keuangan Indonesia ternyata sudah melebar menjadi krisis ekonomi. Bukan hanya itu, krisis juga mulai masuk ke politik yang selama ini praktis menjadi "kawasan tabu". Akibatnya, kepercayaan akan perekonomian Indonesia secara perlahan namun pasti, mulai pupus.
Letter of credit (L/C) dari Indonesia tidak lagi diterima semua pihak di luar negeri. Lebih kalut lagi, pihak peminjam di luar negeri mendesak para penerima pinjaman di dalam negeri agar segera membayar utangnya. Waktu itu, diperkirakan sekitar 9,8 milyar dollar AS utang jangka pendek pihak swasta Indonesia yang jatuh tempo. Akibatnya, tekanan terhadap rupiah semakin bertubi-tubi.Pasar valas maupun bursa saham seperti telah patah arang terhadap pemerintah RI. Seperti telah diungkapkan di atas, sejak itu kurs rupiah terus anjlok hingga mendekati Rp 17.000 (di Singapura sudah mencapai Rp 17.000). Indeks harga saham juga mulai menunjukkan tendensi merosot menembus angka 400 poin dengan beberapa kali naik sedikit sekadar koreksi kecil.Sejak Juni dan Juli 1998, rupiah yang mencapai kurs paling rendah, secara perlahan mulai membaik. Tekanan terhadap rupiah mulai melemah, setelah sejumlah perundingan bagi penyelesaian utang luar negeri pihak swasta dicapai kesepakatan di Frankfurt, Jerman. IMF juga mulai mengucurkan dana bantuannya. Sejumlah negara sahabat juga mulai memperlihatkan sikap mendukung program ekonomi Indonesia.Sayangnya, langkah pemulihan ini belum terlihat di bursa saham. Harga-harga saham terus berjatuhan. Tidak jarang, harga saham di BEJ sudah senilai harga permen. Harga rokok ataupun air mineral jauh di atas harga per lembar saham. Indeks saham pun terus turun hingga bulan September mencapai titik terendah 254 poin.Pertanyaannya, apakah kurs rupiah dan indeks saham ini masih akan stabil pada tingkat ini saat memasuki tahun 1999? Penghujung tahun 1998, rupiah dan bursa agak pulih. Akan tetapi sebagaimana dikemukakan, persoalan yang dihadapi seseorang atau sebuah negara, harus mulai diselesaikan dari diri sendiri.Itu berarti, pemerintah sejak sekarang harus bisa menyelesaikan semua persoalan ekonomi dan politik yang di dalam negeri. Transparan, tegas, jelas, dan cepat diperlukan. Jangan sampai malah menimbulkan kebingungan dan ketidakjelasan.*
2.3. Pertumbuhan ekonomi
Merupakan proses naiknya produk per kapita dalam jangka panjang.
Tidak memperhatikan pemerataan pendapatan.
Tidak memperhatikan pertambahan penduduk
Belum tentu dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi belum tentu disertai dengan pembangunan ekonomi
Setiap input dapat menghasilkan output yang lebih banyak
Pembangunan ekonomi
Merupakan proses perubahan yang terus menerus menuju perbaikan termasuk usaha meningkatkan produk per kapita.
Memperhatikan pemerataan pendapatan termasuk pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.
Memperhatikan pertambahan penduduk.
Meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Pembangunan ekonomi selalu dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi.
Setiap input selain menghasilkan output yang lebih banyak juga terjadi perubahan – perubahan kelembagaan dan pengetahuan teknik.
Dampak Positif Pembangunan Ekonomi
Melalui pembangunan ekonomi, pelaksanaan kegiatan perekonomian akan berjalan lebih lancar dan mampu mempercepat proses pertumbuhan ekonomi.
Adanya pembangunan ekonomi dimungkinkan terciptanya lapangan pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat, dengan demikian akan mengurangi pengangguran.
Terciptanya lapangan pekerjaan akibat adanya pembangunan ekonomi secara langsung bisa memperbaiki tingkat pendapatan nasional.
Melalui pembangunan ekonomi dimungkinkan adanya perubahan struktur perekonomian dari struktur ekonomi agraris menjadi struktur ekonomi industri, sehingga kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh negara akan semakin beragam dan dinamis.
Pembangunan ekonomi menuntut peningkatan kualitas SDM sehingga dalam hal ini, dimungkinkan ilmu pengetahuan dan teknologi akan berkembang dengan pesat. Dengan demikian, akan makin meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dampak Negatif Pembangunan Ekonomi
Adanya pembangunan ekonomi yang tidak terencana dengan baik mengakibatkan adanya kerusakan lingkungan hidup.
Industrialisasi mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian.
hilangnya habitat alam baik hayati atau hewani
2.4.Menjaga Stabilitas Ekonomi Nasional
Voting di Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat menghasilkan keputusan menerima tambahan Pasal 7 Ayat 6A APBN-Perubahan 2012. Klausul tambahan ini memberikan wewenang kepada pemerintah untuk menaikkan atau menurunkan harga BBM jika harga minyak mentah mengalami naik atau turun rata-rata 15 persen dalam jangka waktu enam bulan terakhir. Menanggapi keputusan itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyiapkan beberapa langkah ekonomi.
“Pemerintah akan mengikuti harga minyak mentah dunia,” kata SBY, Sabtu malam, 30 Maret 2012. Jika harga terus naik, akan berdampak juga dengan harga BBM dalam negeri. Tetapi SBY berjanji akan menyalurkan bantuan sosial secara tepat kepada masyarakat miskin.
SBY juga akan menggenjot pendapatan negara, terutama pada dua sektor yakni pajak dan pertambangan. Selain itu pemerintah akan melakukan penghematan energi dengan mengoptimalkan energi alternatif. “Pengalihan dari BBM ke BBG bisa dipercepat,” tutur SBY. Ia juga akan melakukan penghematan anggaran belanja baik kementerian ataupun setingkat daerah.SBY dan jajarannya berusaha meningkatkan ekspor ke luar dan investasi dalam negeri. Pemerintah akan menjaga tingkat konsumsi masyarakat dengan memberikan bantuan langsung. SBY berharap ekonomi nasional tetap stabil, sehingga tidak perlu menambah utang baru.
Selain di bidang ekonomi, SBY akan menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban sosial politik di Indonesia. SBY mengimbau semua jajarannya termasuk kepala daerah untuk sekuat tenaga sesuai dengan APBN-P 2012. “Kepala daerah bertanggung jawab menjaga politik dan keamanan nasional,” tutur SBY.
Menurut SBY, keamanan nasional berdampak pada perekonomian. Ia memberi contoh TNI/Polri yang mampu menjaga ketertiban selama kegaduhan terkait dengan isu kenaikan harga BBM.
BAB III
KESIMPULAN
Sejak krisis keuangan Asia di akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar